gadis penjual korek api

•október 18, 2009 • Færðu inn athugasemd

Gadis Penjual Korek Api

Di malam natal, orang-orang berjalan dengan wajah yang gembira memenuhi jalan di kota. Di jalan itu ada seorang gadis kecil mengenakan pakaian compang-camping sedang menjual korek api. „Mau beli korek api?“ „Ibu, belilah korek api ini.“ „Aku tidak butuh korek api, sebab di rumah ada banyak.“ Tidak ada seorang pun yang membeli korek api dari gadis itu.
Tetapi, kalau ia pulang tanpa membawa uang hasil penjualan korek api, akan dipukuli oleh ayahnya. Ketika akan menyeberangi ‘alan. Grek! Grek! Tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari dengan kencangnya. „Hyaaa! Awaaaaas!“ Gadis itu melompat karena terkejut. Pada saat itu sepatu yang dipakainya terlepas dan terlempar entah ke mana. Sedangkan sepatu sebelahnya jatuh di seberang jalan. Ketika gadis itu bermaksud pergi untuk memungutnya, seorang anak lakilaki memungut sepatu itu lalu melarikan diri. „Wah, aku menemukan barang yang bagus.“
Akhirnya gadis itu bertelanjang kaki. Di sekitarnya, korek api jatuh berserakan. Sudah tidak bisa dijual lagi. Kalau pulang ke rumah begini saja, ia tidak dapat membayangkan bagaimana hukuman yang akan diterima dari ayahnya. Apa boleh buat, gadis itu membawa korek api yang tersisa, lalu berjalan dengan sangat lelahnya. Terlihatlah sinar yang terang dari jendela sebuah rumah. Ketika gadis itu pergi mendekatinya, terdengar suara tawa gembira dari dalam rumah.
Di rumah, yang dihangatkan oleh api perapian, dan penghuninya terlihat sedang menikmati hidangan natal yang lezat. Gadis itu meneteskan air mata. „Ketika ibu masih hidup, di rumahku juga merayakan natal seperti ini.“ Dari jendela terlihat pohon natal berkelipkelip dan anak-anak yang gembira menerima banyak hadiah. Akhirnya cahaya di sekitar jendela hilang, dan di sekelilingnya menjadi sunyi.
Salju yang dingin terus turun. Sambil menggigil kedinginan, gadis itu duduk tertimpa curahan salju. Perut terasa lapar dan sudah tidak bisa bergerak. Gadis yang kedinginan itu, menghembus-hembuskan nafasnya ke tangan. Tetapi, sedikit pun tak menghangatkannya. „Kalau aku menyalakan korek api ini, mungkin akan sedikit terasa hangat.“ Kemudian gadis itu menyalakan sebatang korek api dengan menggoreskannya di dinding.
Crrrs Lalu dari dalam nyala api muncul sebuah penghangat. „Oh, hangatnya.“ Gadis itu mengangkat tangannya ke arah tungku pemanas. Pada saat api itu padaamtungku pemanaspun menghilang. Gadis itu menyalakan batang korek api yang kedua. Kali ini dari dalam nyala api muncul aneka macam hidangan.
Di depan matanya, berdiri sebuah meja yang penuh dengan makanan hangat. „Wow! Kelihatannya enak.“ Kemudian seekor angsa panggang melayang menghampirinya. Tetapi, ketika ia berusaha menjangkau, apinya padam dan hidangan itu menghilang. Gadis itu segera mengambil korek apinya, lalu menyalakannya lagi. Crrrs!
Tiba-tiba gadis itu sudah berada di bawah sebuah pohon natal yang besar. „Wow! Lebih indah daripada pohon natal yang terlihat dari jendela tadi.“ Pada pohon natal itu terdapat banyak lilin yang bersinar. „Wah! Indah sekali!“ Gadis itu tanpa sadar menjulurkan tangannya lalu korek api bergoyang tertiup angin. Tetapi, cahaya lilin itu naik ke langit dan semakin redup. Lalu berubah menjadi bintang yang sangat banyak.
Salah satu bintang itu dengan cepat menjadi bintang beralih. „Wah, malam ini ada seseorang yang mati dan pergi ke tempat Tuhan,ya… Waktu Nenek masih hidup, aku diberitahu olehnya.“ Sambil menatap ke arah langit, gadis itu teringat kepada Neneknya yang baik hati. Kemudian gadis itu menyalakan sebatang lilin la i. Lalu di dalam cahaya api muncul wujud Nenek yang dirindukannya. Sambil tersenyum, Nenek menjulurkan tangannya ke arah gadis itu.
„Nenek!“ Serasa mimpi gadis itu melo ‘ mpat ke dalam pelukan Nenek. „Oh, Nenek, sudah lama aku ingin bertemu’ “ Gadis itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, di dalam pelukan Nenek yang disayanginya. „Kenapa Nenek pergi meninggalkanku seorang diri? Jangan pergi lagi. Bawalah aku pergi ke tempat Nenek.“ Pada saat itu korek api yang dibakar anak itu padam. „Ah, kalau apinya mati, Nenek pun akan pergi juga. Seperti tungku pemanas dan makanan tadi…“
Gadis itu segera mengumpulkan korek api yang tersisa, lalu menggosokkan semuanya. Gulungan korek api itu terbakar, dan menyinari sekitarnya seperti siang harl. Nenek memeluk gadis itu dengan erat. Dengan diselimuti cahaya, nenek dan gadis itu pergi naik ke langit dengan perlahanlahan. „Nenek, kita mau pergi ke mana?“ „Ke tempat Tuhan berada.“
Keduanya semakin lama semakin tinggi ke arah langit. Nenek berkata dengan lembut kepada gadis itu, „Kalau sampai di surga, Ibumu yang menunggu dan menyiapkan makanan yang enak untuk kita.“ Gadis itu tertawa senang. Pagi harinya. Orang-orang yang lewat di jalan menemukan gadis penjual korek api tertelungkup di dalam salju. „Gawat! Gadis kecil ini jatuh pingsan di tempat seperti ini.“ „Cepat panggil dokter!“
Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya semuanya menyesalkan kematian gadis itu. Ibu yang menolak membeli korek api pada malam kemarin menangis dengan keras dan berkata, „Kasihan kamu, Nak. Kalau tidak ada tempat untuk pulang, sebaiknya kumasukkan ke dalam rumah.“ Orang-orang kota mengadakan upacara pemakaman gadis itu di gereja, dan berdoa kepada Tuhan agar mereka berbuat ramah meskipun pada orang miskin.

asal usul kota surabaya

•október 18, 2009 • Færðu inn athugasemd

Asal Usul Kota Surabaya

// //

Asal Usul Kota Surabaya

Nama Ujunggaluh (Hujunggaluh) sudah tersebut dalam sumber sejarah berupa prasasti abad X (905 AD, 907 AD, 930 AD, serta 934 AD), tetapi bahwa Ujunggaluh adalah sebuah pelabuhan dagang yang berada di Kali brantas baru diketahui dari prasasti Kelagen (sekarang di Dukuh Kelagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo) yang dibuat atas perintah Raja Airlangga pada tahun Saka 959 atau tahun 1037 AD.

Suatu petunjuk yang memberikan keterangan agak pasti tentang letak Ujunggaluh baru muncul pada permulaan abad XIII dari buku Chu Fan Chi tulisan Chau Ju Kua (1220 AD) yang menyebutkan bahwa pada waktu itu Ujunggaluh menghasilkan garam teluk (bay salt), biribiri, dan burung kakaktua. Karena Ujunggaluh menghasilkan garam, tentu letaknya di pantai.

Data-data dari sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti Kelagen (1037 AD), tulisan buku Chau Ju Kua (1220 AD), kronik dinasti Yuan (1293), Kidung Harsa Wijaya (abad XVII), buku Pararaton (abad XVIII), membawa kita pada kesimpulan bahwa lokasi Ujunggaluh pada abad XIII berada di kotamadya Surabaya sekarang.

Banyaknya kampong-kampung di Kotamadya Surabaya yang memakai kata kali, misalnya Kaliasin, Kaliwaron, Kali-kepiting, Darmokali, Ketabangkali, Kalidami, dan lain-lain, kiranya merupakan petunjuk bahwa di Ujunggaluh pada abad XIII banyak terdapat sungai. Sumber tertulis tertua yang menyebutkan nama Surabaya adalah Prasasti Trowulan I dari tahun 1358 AD (tahun Saka 1280), yakni sebagai nama desa yang termasuk kelompok desa di tepi sungai, sebagai tempat penambangan (naditira pradesa) yang dulu sudah ada.

Nama dan peranan Surabaya muncul secara pasti pada masa awal pertumbuhan Majapahit. Tentara Tartar berhasil dihancurkan oleh R. Wijaya di daerah yang bernama Ujunggaluh pada tanggal 31 Mei 1293 AD. Kemudian peristiwa heroik itu dimitoskan dan dilambangkan sebagai pertempuran antara ikan Sura dan Baya ( Surabaya), dan selanjutnya dipakai sebagai sebutan baru bagi Ujunggaluh.

Sejak mundurnya kerajaan Majapahit pada awal abad XV, Surabaya kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam yang dipimpin oleh Raden Rrakhmat atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Kepemimpinan Sunan Ampel ini mendapat restu dari Majapahit.

Pada waktu itu Malak menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan sekaligus juga sebagai pusat penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Hal ini makin memantapkan kedudukan Surabaya dan Gresik sebagai pusat penyebaran Islam, khususnya di sepanjang jalur pelayaran Laut Jawa, karena para saudagar Jawa yang menguasai perdagangan antara Maluku-Jawa-Malaka.

Peranan dan pengaruh Surabaya sangat besar dalam proses pengislaman Jawa. Atas jasa Surabaya pula muncul kota-kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama islam di sepanjang pantai utara jawa. Antara lain adalah kota gresik, Sedayu, dan Tuban, serta Demak yang kemudian menjadi pusat kesultanan Demak di bawah Raden Fatah.

Setelah wafatnya Sunan Ampel, kepemimpinan Islam di Surabaya berpindah ke Giri dan Gresik. Sedangkan pengganti Sunan Ampel yang menguasai Surabaya adalah putranya, Sunan Drajat, kemudian berturu-turut adalah Kiaji Gede Pemburuan, Panembahan Romo, Pangeran Suroboyo, Tumenggung Surdipuro, Kiaji Tumenggung Natar Wong Pati, dan Kiaji Arip Kertosono.

Juga pernah ada sebuah pemerintahan yang terdiri dari 11 orang yang disebut ’Hoemboels’ dan dipimpin oleh Prumus inter Paris. Sesudah itu menyusul nama-nama Bupati Kiaji Nilisroyo, Raden Nolo Dito, Trunojoyo, Pati Bondang, dan Panji Wirio Kromo seorang pangeran buta yang diberi nama ”Raja”, Pangeran Pekik.

Pada abad XVII, menurut buku Tung Hsi Yang Kau, disebutkan Gresik telah menguasai wilayah Surabaya dan Yortan (Bangil). Bahkan disebutkan Surabaya sudah tidak begitu penting sekali, karena sebagian besar pedagang telah pindah ke Yortan.

Sejarah Kota Surabaya

Pada tanggal 31 Mei 1293 Raden Wijaya (Pendiri Kerajaan Majapahit) dengan keberanian dan semangat dan jiwa kepahlawanan berhasil menghancurkan dan mengusir tentara Tar-Tar, pasukan kaisar Mongolia dari bumi Majapahit. Tentara Tar-Tar meninggalkan Majapahit melalui Ujung galuh, sebuah desa yang terletak di ujung utara Utara Surabaya, di muara Kali Mas.

Kerajaan Surabaya yang luput dari catatan sejarah sudah saya singgung. Sastrawan Surakarta, Ki Padmosusastro 1902, mencatat penggal kisah kerajaan kecil di sudut Bang Wetan (Jawa Timur) ini dalam Kitab ‘Sedjarah Dalem’ yang saya baca beberapa waktu lalu. Setidaknya bisa menambah refrensi.

Kerajaan Surabaya diperkirakan lahir 1365, jauh lebih tua dibanding Mataram yang lahir pada 1577. Namun kerajaan Surabaya secara resmi bubar setelah kekuasaan jajahan Mataram di Bang Wetan ‘beralih’ ke kompeni 1755. Akhir kerajaan Surabaya, tidak lepas dari pengaruh Mataram.

Namun kekuasaan Surabaya baru benar-benar hilang ketika penguasa Hindia Belanda Van Imhoff, berkunjung ke Surabaya pada 11 April 1746. Diperkirakan kerajaan ini berdiri selama tidak kurang dari 375 tahun.

Digambarkan, Pengaruh Kerajaan Surabaya meliputi Bang Wetan, Kalimatan Selatan, Kalimatan Timur, Pulau Sulawesi bagian tengah hingga selatan dan sebagian kepulauan Maluku bagian selatan. Surabaya adalah kerajaan niaga terakhir yang memiliki hubungan dengan Portugis, Belanda, Inggris, dan Tiongkok.

Menurut Padmosusastro, tidak tercatatnya nama raja-raja Surabaya karena minimnya sastra tulis, seperti lazimnya kerjaaan di pedalaman Jawa. Namun penguasa Surabaya yang paling terkenal adalah raja abad 17 karena keberaniannya menolak hegemoni tiga raja Mataram. Catatan Padmosusastro menyebut nama Raja Surabaya itu adalah Jayalengkara. Putra raja ini lebih tersohor, yaitu Pangeran Pekik.

Dari tahun 1483-1542 Surabaya merupakan bagian dari wilayah kerajaan Demak. Sesudah itu kurang lebih 30 tahun Surabaya ada di bawah kekuasaan supremasi Madura. dan antara 1570 sampai 1587 Surabaya ada di bawah dinasti Pajang.

Pada tahun 1596, orang Belanda pertama kali datang ke Jawa Timur di bawah pimpinan Cornelis Houtman.

Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Pedagang pribumi membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari Banda, meskipun telah ada persetujuan dengan VOC yang melarang orang-orang Banda berdagang untuk kepentingannya sendiri.

Setelah tahun 1625 Surabaya jatuh ke tangan kerajaan Mataram. Setelah takluk dari kerajaan Mataram, tahun 1967 Surabaya mengalami kekacauan akibat serangan para bajak laut yang berasal dari Makasar. Pada saat keadaan tidak menentu inilah muncul nama Trunojoyo, seorang pangeran dari Mataram dari suku Madura, yang memberontak terhadap Raja Mataram. Dengan pertolongan orang-orang Makasar Trunojoyo berhasil menguasai Madura dan Surabaya.

Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Kalimas menjadi “sungai emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.

Dengan alasan ingin membantu Mataram, pada tahun 1677 Kompeni mengirim Cornelis Speelman yang dilengkapi dengan angkatan perang yang besar ke Surabaya. Benteng Trunojoyo akhirnya dapat dikuasai Speelman. Kemudian Gubernur Jenderal Couper mengembalikan Surabaya kepada Mataram.

Pada abad 18, tahun 1706, Surabaya menjadi ajang pertempuran antara Kompeni dibawah pimpinan Govert Knol dan Untung Surapati.

Setelah peperangan terus menerus, tanggal 11 Nopember 1743 Paku Buwono II dari kerajaan Mataram dan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Surakarta menanda-tangani sebuah persetujuan yang menyatakan bahwa ia menyerahkan haknya atas pantai utara Pulau Jawa dan Madura (termasuk di antaranya di Surabaya) kepada pihak VOC yang telah memberikan bantuan hingga ia berhasil naik tahta di kerajaan Mataram.Tetapi pasukan Hindia Belanda baru mengunjungi Surabaya pada tanggal 11-April-1746.

VOC mendirikan struktur pemerintahan baru di daerah pantai utara Pulau Jawa dan Madura dengan kedudukan gubernur di Semarang. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).

Antara Tahun 1794-1798 Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa adalah Dirk van Hogendorp. Pada tanggal 6 September 1799, Fredrick Jacob Rothenbuhler menggantikan Van Hogendorp berkuasa sampai tahun 1809. Pada tahun 1807 Surabaya mendapat Serangan dari angkatan laut Inggris di bawah pimpinan Admiral Pillow yang akhirnya meninggalkan Surabaya.

Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.

Tahun 1811-1816 Surabaya berada dibawah kekuasaan Inggris yang dijabat oleh Raffles. Tahun 1813 Surabaya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan, sampai-sampai William Thorn dalam buku Memoir of Conguest of Java berpendapat bahwa Kota Gresik (pada masa sebelumnya menjadi kota pelabuhan yang ramai) sudah menjadi kuno bila dibandingkan dengan Surabaya.

Setelah itu Surabaya kembali dikuasai Belanda. Tahun 1830-1850, Surabaya betul-betul berbentuk sebagai kota benteng dengan benteng Prins Hendrik ada di muara Kalimas. Pada tahun 1870, Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern.

Asal usul telga biru

•júlí 13, 2009 • Ein athugasemd

Asal Usul Telaga Biru

Print This Post Print This Post

telaga birutelaga biru

Dibelahan bumi Halmahera Utara (Maluku Utara) tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang (hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru), penduduk Lisawa tersentak gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga.

Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa gerangan yang membuat fenomena ini terjadi?

Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat. Apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta.

Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian.

Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri.

Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru.

Telaga biru kala itu selalu tampak bersih. Airnya sejernih kristal berwarna kebiruan. Setiap dedaunan yang jatuh di atasnya tidak akan tenggelam karena seolah terhisap untuk dibersihkan oleh bebatuan yang ada di tepian telaga.

Sampai saat ini mitos asal-mula telaga Biru masih terus terjaga di masyarakat. Pasangan muda-mudi dari Galela dan Tobelo ada yang datang ke telaga ini untuk saling mengikat janji. Sebagai tanda ikatan mereka akan mengambil air dengan daun Cingacinga dan lalu meminumnya bersama. Air yang masih tersisa biasanya akan dipakai untuk membasuh kaki dan wajah. Maknanya adalah supaya jangan ada lagi air mata yang mengalir dari setiap ikatan janji dan hubungan.

Penduduk dusun Lisawa mula-mula kini telah tiada dan hanya menyisakan telaga Biru. Sayang kondisi telaga Biru saat ini kian merana akibat ditebangnya pepohonan di sekitar telaga. Hal ini semakin diperparah dengan hilangnya bebatuan di sekitar telaga yang telah berganti dengan tanggul beton. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan telaga ini sebagai tempat MCK sehingga banyak sampah plastik yang kini sangat merusak pemandangan. Belum lagi batang-batang pohon yang sengaja ditebang tidak pernah diangkat tetapi dibiarkan membusuk didalam air telaga.

Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat bertahan jika di dalam matanya kemasukan butiran pasir atau terkena pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan wariskan derita ini pada anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari anak cucu kita!

Sum